Kamis, 31 Desember 2015

Waktu Shalat Wajib Lima Waktu (Bag.4)

  Dari tebenamnya syafaq merah sampai paruh malam pertengahan. Sementara waktu darurat shalat Isya’ adalah sampai terbit fajar. Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Amr RA:

Waktu shalat Isya’ itu sampai paruh malam yang pertengahan. (HR. Muslim).

  Juga hadits Jabir RA, tentang Jibril yang mengimami Nabi SAW, dia bercerita: 

Jibril mendatangi Nabi pada waktu Isya’ seraya berucap, “Berdiri dan kerjakanlah shalat Isya’.” Beliau pun mengerjakan shalat Isya’ ketika syafaq terbenam... kemudian pada hari kedua, Jibril mendatangi beliau pada saat pertengahan malam telah berlalu, dan beliau pun mengerjakan shalat Isya’. (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Nasa’i).

  Sementara waktu setelah pertengahan malam sampai terbit fajar meupakan waktu darurat bagi orang yang lupa atau tertidur. Hal itu sesuai dengan hadits Abu Qatadah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda:

Sesungguhnya dalam tidur itu tidak ada kelengahan, karena sebutan lengah itu ditujukan bagi orang yang belum mengerjakan shalat sampai masuk waktu shalat yang lain. Barangsiapa mengalami hal tersebut, hendaklah dia mengerjakannya ketika dia teringat padanya. (HR. Muslim).

  Yang terbaik berkenaan dengan waktu shalat Isya’ ini adalah mengakhirkannya selama waktunya belum berlalu, jika hal itu tidak memberatkan. Jika dalam rombongan perjalanan, atau berada di pedalaman atau desa terpencil, maka mengakhirkan waktu shalat Isya’ adalah lebih baik, jika hal itu tidak memberatkan seorang pun dari mereka. Dari Aisyah RA, dia bercerita:

Pada suatu malam, Nabi SAW tidak tidur sampai seluruh malam berlalu dan sampai jamaah masjid tertidur, kemudian beliau keluar dan mengerjakan shalat seraya bersabda, “Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya’, seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku.” (HR. Muslim).

  Itulah dalil yang menunjukkan bahwa akhir waktu shalat Isya’ merupakan waktu yang paling baik untuk melaksanakan shalat Isya’.
  Rasulullah SAW selalu mengutamakan yang teringan bagi umatnya. Dari Jabir RA, dia berkata:

Shalat itu terkadang (disegerakan) dan terkadang (diakhirkan). Jika beliau melihat mereka telah berkumpul, maka beliau menyegerakannya, dan jika beliau melihat mereka belum berkumpul, maka beliau mengakhirkannya. (Muttafaqun ‘alaih).

  Karena pentingnya memelihara waktu shalat Isya’, Nabi SAW tidak suka tidur sebelum mengerjakan shalat Isya’. Dalam hadits Ibnu Barzah al-Aslami RA, disebutkan:

Rasulullah suka mengakhirkan shalat Isya’ pada waktu yang kalian sebut sebagai Atamah, dan beliau tidak suka tidur sebelumnya dan berbicara sesudahnya. (Muttafaqun ‘alaih).


  Saya pernah mendengar Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz mengatakan, “Dimakruhkan tidur sebelum shalat Isya’, karena tidur bisa menyebabkan shalat Isya’ hilang. Dan dimakruhkan berbicara setelahnya, karena percakapan seringkali melupakan shalat Subuh.”

Bersambung... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar