Minggu, 06 Desember 2015

Bekerjalah, Dan Raihlah Harta Yang Halal Saja (Bag.1)

  “Aku tidak memasukkan secuil pun makanan ke dalam mulutku, kecuali aku tahu dari mana makanan itu berasal dan dari mana ia keluar.” Itulah kata dahsyat yang menunjukkan kualitas kepribadian sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas. Jelas sekali perkataannya, ia tidak makan apapun selain tahu benar kualitas kehalalannya. Dari mana makanan itu diperoleh, atau dari mana makanan itu dihasilkan dan bagaimana pula membelanjakannya. Itu menunjukkan sebuah pelajaran ketelitian, keterusterangan, transparansi, kejujuran dan kredibilitas tingkat tinggi.
   Luar biasa sekali. Untuk meraih rezeki, harta, uang, atau kekayaan yang halal, kita butuh seperangkat itu semua. Kalau saja saat itu sudah ada bahasa modern, pastilah Sa’ad akan berkata lantang, “Aku tidak akan memakan harta secuil pun, sebelum harta itu diaudit keabsahannya. Apakah ia terindikasi korupsi atau tidak.”
  Di zaman generasi-generasi awal, Sa’ad itu terkenal karena do’anya yang sangat mustajab. Setiap do’anya selalu dikabulkan Allah. Dia minta hujan, tak selang lama hujan diturunkan. Dia minta kesembuhan seorang sahabat lain , tak selang lama kesembuhan itu datang, dia minta apa saja selalu dikabulkan Allah. Subhanallah! Tersebutlah seorang sahabat yang memberanikan diri bertanya kepadanya,
“Wahai Sa’ad, bolehkah aku bertanya kepadamu?” kata sahabat tadi.
“Apa yang ingin kautanyakan? Aku tidak keberatan” jawab Sa’ad.
“Mengapa do’a-do’amu lebih dikabulkan Allah di antara para sahabat yang lain?”
“Aku tidak memasukkan secuil pun makanan ke dalam mulutku kecuali aku tahu dari mana makanan itu berasal dan dari mana ia keluar,” jawab Sa’ad serius.
  Maha Suci Allah yang selalu mengabulkan do’a hambanya yang menjaga rezeki yang halal.
  Tak diragukan lagi, salah satu kewajiban seorang muslim yaitu mencari nafkah yang suci dan halal untuk diri, keluarga dan umatnya, sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah,

Duhai umatku! Allah itu Maha Suci (al-Tayyib) dan Dia tidak menerima kecuali hanya yang suci! Allah telah menyuruh orang-orang beriman agar mengerjakan apa-apa yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul-Nya. Dia berfirman, ‘Wahai para Rasul! Makanlah dari makanan yang suci dan berbuat baiklah!’ Dan juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari makanan yang halal lagi suci yang telah Kami berikan kepadamu’.

  Beliau berfatwa saat kondisi perniagaan dan transaksi perekonomian sedang dikepung ketidakjujuran, penipuan gampang sekali dilakukan. Ibarat kata, sulit sekali menjemput rezeki yang halal. Luar biasa godaan mencari harta halal saat itu. Dan hasilnya, sesosok sahabat sekualitas Sa’ad bin Abi Waqqas. Meski susah mencari harta halal, ia tak gentar kelaparan. Baginya, lebih baik mati daripada memakan rezeki yang tidak berkah, rezeki yang tidak halal, rezeki yang haram.
 
  Hati-hatilah! Sesungguhnya memakan harta haram itu mengakibatkan do’a, permohonan, atau permintaan anda tidak dikabulkan Tuhan. Dalam hadits riwayat At-Tirmidzi, Imam Muslim, dan Imam Ahmad dikatakan :

Suatu hari Rasulullah menyebut tentang seorang musafir yang pakaiannya kumal, compang-camping dan berdebu. Musafir itu berdo’a kepada Allah. Ia tengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, ‘Duhai Allah Tuhanku! Wahai Engkau yang Maha Pemberi Rezeki...’
Lanjut Rasulullah, musafir itu berdo’a sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia makan dari nafkah yang haram, bagaimana do’anya bisa dikabulkan?

  Cerita Rasulullah tersebut menekankan bahwasanya penghidupan musafir tadi tidak suci dengan memerinci makanan, pakaian, minuman, dan nafkahnya. Semuanya ia peroleh dari cara yang tidak suci.
  Kita semua, bahkan para nabi sekalipun, diperintahkan menjemput rezeki yang halalan tayyibaa (halal lagi baik/suci). Sementara halal lagi baik/suci bisa diperoleh ketika kita mencari nafkah dengan cara yang baik/suci dan membelanjakannya pun dengan baik/suci. Jadi, jika anda membeli makanan yang baik/suci tetapi dengan uang hasil curian, maka makanan itu tidak halal hukumnya. Begitu pula sebaliknya, jika anda mencari uang dengan cara yang baik/suci, tapi kemudian membelanjakannya untuk mengonsumsi barang haram, maka hal ini juga termasuk jenis yang haram.
  Sebuah hadits lain yang diriwayatkan Imam Bukhari menegaskan peringatan di atas:

Barangsiapa bersedekah dengan biji kurma dari hartanya yang suci, niscaya Allah akan menerimanya dengan tangan kanan, dan Dia akan memberi makan keluarganya karena sedekahnya itu, seperti kalian memberi makan kuda kalian sehingga ia menjadi seperti gunung.

  Jadi, sedekah yang diberikan dari harta yang tidak suci, tidak akan diterima oleh Allah walau sebanyak apapun. Sedangkan sedekah yang diberikan dari penghasilan yang suci, akan diterima Allah walaupun cuma sebesar biji kurma.
  Tak hanya itu, Rasulullah dengan sendirinya juga mewajibkan kita untuk bekerja. Mencari makan sendiri. Mencari nafkah sendiri. Tidak parasit. Tidak menggantungkan nasib pada orang lain. Jangan mengemis dan meminta-minta. Bekerjalah sekeras-kerasnya, secerdas-cerdasnya, sebaik-baiknya, sesuci-sucinya, dan sehalal-halalnya! Itulah spirit utama yang hendak dikatakan Rasulullah. Bekerja sendiri itu diwajibkan karena hal itu merupakan salah satu cara terbaik bagi seseorang untuk memastikan kesucian penghasilannya.
  Umar bin Khaththab berkata, “Aku menjumpai seseorang yang membuatku kagum, dan aku bertanya, ‘Apakah ia mempunyai pekerjaan (untuk mencari nafkah)?’ Jika saja mereka berkata, ‘Tidak,’ maka ia turun dari pandanganku (dan aku tidak menghormatinya).”
  Sungguh, jika anda mengaku umat Rasulullah, tapi anda masih mengemis-ngemis, meminta-minta, dengan cara apa saja, halus atau kasar, maka menangislah. Karena sia-sia saja keislaman anda. Karena Rasulullah pasti memalingkan mukanya dari anda. Karena para sahabat Rasulullah yang sudah dijamin masuk surga pasti tak sudi bertemu anda.
  Bekerjalah dan jangan mengganggu orang lain. Bekerjalah dan jangan memberatkan orang lain. Bekerja apa saja asal halal. Sebab, kerja merupakan sesuatu yang diwajibkan bagi manusia. Bekerja itu sesuai dengan kodrat anda sekaligus menjadi cara anda memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Bekerjalah! Karena bekerja merupakan cara utama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bekejalah! Karena Islam mewajibkan semua orang supaya berusaha sungguh-sungguh menguasai pekerjaannya. Bekerjalah! Karena bekerja merupakan sumber rezeki.
  Bekerjalah dan rajinlah anda bekerja! Karena dengan bekerja anda bisa menikmati kehidupan duniawi serta menginfakkan sebagian harta yang anda hasilkan di jalan Allah. Bekerjalah! Karena dengan bekerja harkat dan martabat anda akan terangkat. Bekerjalah! Karena tak ada gadis yang sudi menikah dengan lelaki pemalas, yang hanya menggantungkan nasibnya pada orang lain. Bekerjalah! Karena bekerja itu diwajibkan oleh agama. Dan bagi anda yang beriman, bekerjalah! Karena bekerja itu bernilai ibadah. Bekerja! Karena Allah pasti mengganjarnya. 
  Tidak sedikit ayat-ayat yang mengisyaratkan kerja berkenaan dengan eksistensi manusia. Simaklah firman Allah berikut:

Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka dirugikan. (QS. Al-Ahqaaf : 19)

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji, manakah diantara kamu sekalian orang yang lebih baik amal/pekerjaannya. (QS. Al-Kahfi : 7)

Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At-Taubah : 105)

  Ayat-ayat di atas mengisyaratkan pada kita semua, pada anda, bahwa pekerjaan anda atau bagaimana anda bekerja, itulah yang menentukan eksistensi anda di hadapan Allah, Rasulullah, dan umat yang beriman. Hal ini senada dengan sistem ajaran al-Qur’an yang lain, yang menegaskan bahwa manusia tidak akan memperoleh sesuatu kecuali yang ia usahakan sendiri. Kata Allah:

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm : 39)

  Karena itu, semestinya anda tidak memandang enteng, apalagi menyepelekan, terhadap bentuk-bentuk kerja yang anda lakukan. Dan karena itulah, anda tidak boleh tidak, harus bekerja alias hidup mandiri, tidak meminta-minta. Anda tidak boleh hidup dengan menggantungkan uluran tangan orang lain. Anda harus bekerja dan memberi makna pada pekerjaan anda. Karena sesungguhnya bekerja merupakan bagian integral tak terpisahkan dari makna hidup anda yang lebih otentik: ubudiyah-mu’amalah.
  Dengan bekerja, otomatis anda membangun kepribadian anda dalam rangka memperoleh peran kemanusiaan anda. Dengan bekerja, anda bisa membuat media untuk mengembangkan pribadi dan kreativitas anda secara optimal, dengan cara membuka usaha, atau dengan cara menciptakan serta memperluas lapangan pekerjaan. Dan dengan bekerja, anda bisa menyalurkan seluruh energi positif yang bermuatan cahaya Ilahi untuk terus menggapai ridha dan rahmat-Nya.
  Yakinlah, bahwa anda bisa bekerja sesuai kemampuan anda, sesuai skill atau keahlian anda, sesuai bakat minat anda. Jangan mempersulit diri. Dan yakinlah Allah bersama anda.

Katakanlah: “tiap-tiap orang berbuat menurut syakilah (bakat)-nya masing-masing...” (QS. Al-Israa : 84)

  Ingatlah, bahwa Rasulullah juga pernah menerangkan, bahwa masing-masing orang dimudahkan untuk mengerjakan sesuatu yang ia ciptakan sendiri. Ingatlah, bahwa kerja merupakan cara alami untuk mempertahankan penghidupan anda. Ingatlah, bahwa setiap pekerjaan anda sesungguhnya kembali pada diri anda sendiri, hanya untuk diri anda sendiri, bukan orang lain.

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. (QS. Al-Israa : 7)

  Muhammad Farid Wajdiy dalam bukunya Muhimmatul Islaam fil ‘Aalam menjelaskan, sesungguhnya jika kita teliti, manakala Allah menyebut perkataan, alladziina aamanuu (orang-orang yang beriman) dalam ayat-ayat al-Qur’an, Allah selalu menyambungnya dengan wa’amilush-shaalihaat (perbuatan/pekerjaan yang baik). Hal itu menunjukkan bahwa iman harus disertai amal saleh atau pekerjaan yang baik. Amal saleh dalam kehidupan nyata adalah penjelmaan dari iman. Iman yang tak disertai amal saleh dapat disebut iman yang mandul.


BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar