dari : gitanews.com
Sudah menjadi kebiasaan seluruh
keluarga besar Arab kota untuk mengirimkan anak-anak mereka yang baru lahir ke
daerah gurun untuk disusui hingga disapih, serta menghabiskan masa kanak-kanak
mereka di tengah-tengah suku Badui. Tak terkecuali Mekah, apalagi sejak musim
wabah penyakit dan tingginya angka kematian bayi di sana. Tapi bukan
semata-mata udara segar sahara yang mendorong mereka mengirim anak-anak mereka
ke sana. Itu memang berguna bagi jasmani mereka. Tapi gurun pasir juga memiliki
manfaat bagi perkembangan jiwa.
Beberapa suku memiliki reputasi baik dalam menyusui dan mengasuh anak,
diantaranya adalah Bani Sa’d ibn Bakr, suku Hawazin terpencil, sebelah tenggara
Mekah. Aminah ingin mempercayakan putranya untuk diasuh seorang wanita dari
suku tersebut. Mereka biasanya datang secara periodik kepada kaum Quraisy untuk
menawarkan pengasuhan.
Perjalanan mereka kali ini diceritakan oleh Halimah, putri Abu Dhu’ayb,
yang berangkat bersama suaminya, Harits.
Tahun ini musim kemarau. Kami tak memiliki apa-apa. Aku berangkat
dengan mengendarai keledai betinaku yang kurus berwarna abu-abu. Kami juga
membawa seekor unta betina tua yang tak lagi bisa mengeluarkan susu setetes
pun. Kami terbangun setiap malam oleh tangis kelaparan anak kami, karena
susuku tak cukup membuatnya kenyang. Keledaiku begitu lemah dan kurus sehingga
aku sering ketinggalan rombongan di perjalanan.
Ia juga menceritakan bahwa mereka
begitu mengharapkan curahan air hujan agar unta-unta dan keledai dapat merumput
sehingga air susunya dapat keluar. Namun hingga sampai ke Mekah, tak setetes
pun air hujan turun. Setelah tiba mereka segera menawarkan jasa pengasuhan
anak, dan Aminah pun menawarkan anaknya untuk diasuh mereka. Namun tak satupun
menerima tawarannya. Halimah menjelaskan, “Itu karena kami berharap mendapatkan
sesuatu yang berharga dari ayah anak itu. Seorang anak yatim! Apa yang bisa
diharapkan dari ibu dan kakeknya untuk kami?”
Mereka tidak mengharapkan pembayaran tunai dari jasa yang ditawarkan,
karena seorang wanita dianggap tidak terhormat bila mengambil bayaran dari susu
yang diberikannya kepada seorang anak. Keuntungan yang diinginkan orang-orang
Badui adalah memiliki ikatan dengan salah satu dari keluarga-keluarga besar
ini. Seorang ibu angkat mengasuh seorang anak yang diharapkan menganggapnya
sebagai ibu kedua dan merasa berkewajiban memeliharanya di akhir hayatnya. Anak
itu juga akan menganggap dirinya sebagai saudara dari anak-anak kandungnya
sendiri. Orang-orang Arab menganggap air susu dapat membuat suatu hubungan nasab
dan dapat juga menurunkan sifat-sifat sang ibu pada anak yang disusuinya.
Meskipun para orang tua angkat tidak mengharapkan untuk kaya, tapi
mereka juga tidak mau terlalu dililit kemiskinan. Dan, telah jelas bahwa
Halimah dan suaminya adalah pasangan yang paling miskin diantara pasangan lain.
Sehingga tak lama kemudian semua wanita bani Sa’d telah memiliki anak asuh,
kecuali Halimah sendiri. Tinggal seorang pengasuh termiskin yang tak
mendapatkan titipan anak, dan hanya seorang anak termiskin yang tak mendapatkan
pengasuh.
Halimah menuturkan:
Saat kami memutuskan untuk meninggalkan Mekah, aku bilang pada suamiku,
“Aku enggan kembali ke rombongan teman-teman kita tanpa mendapatkan seorang
bayi untuk disusui. Aku akan kembali ke anak yatim itu dan akan membawanya.” “Terserah
engkaulah,” kata suamiku. “Mudah-mudahan Allah memberikan berkah-Nya kepada
kita lewat anak itu!” Maka, aku pun pergi mengambilnya, tak lain karena aku tak
mendapatkan asuhan lain kecuali dia. Aku membawanya kembali ke tempat kendaraan
kami ditambatkan. Tak lama setelah kudekap ia di dadaku, tiba-tiba payudaraku
penuh air susu untuk menyusuinya. Ia meminumnya sampai kenyang, dan saudara
angkatnya pun sampai kenyang. Setelah itu, mereka tertidur nyenyak. Suamiku
mendekati unta betina tua kami dan, astaga, susunya penuh! Ia pun meminumnya
dan aku juga turut minum hingga begitu kekenyangan. Kami menjalani malam yang
begitu menyenangkan, dan di pagi harinya suamiku berkata, “Demi Tuhan,
Halimah, engkau telah mengambil makhluk yang diberkahi Tuhan!” “Begitulah
harapanku,” kataku. Selanjutnya kami bersiap-siap untuk berangkat, dan aku
kembali menaiki keledaiku sambil menggendong anak itu. Keledaiku berjalan
dengan cepat menyalip rombongan lain. “Hebat sekali kalian! Tunggulah kami!
Bukankah keledai yang kautunggangi itu sama dengan keledai yang kemarin kalian
naiki saat berangkat kemari?” kata mereka. “Ya, tentu saja, “ jawabku. “ia
memang keledai yang sama.” “Suatu mukjizat telah datang kepadanya,” komentar
mereka.
Kami sampai di perkemahan daerah Bani Sa’d, dan aku tahu bahwa tak ada
tempat lain yang lebih gersang di muka bumi ini kecuali tempat tinggal kami
itu. Namun, setelah kami datang membawa bayi laki-laki itu untuk tinggal
bersama kami, domba-domba kami pulang setiap petang dengan ambing penuh air
susu. Kami memerasnya dan meminumnya, sementara yang lain tak dapat
menghasilkan air susu sedikitpun. Hingga para tetangga kami berkata pada para
penggembalanya, “Gembalakan kambing-kambing kami di dekat kambing-kambing
mereka merumput.” Meskipun hal itu telah dilakukan, kambing-kambing mereka
tetap pulang dalam keadaan lapar dan tak menghasilkan air susu yang cukup. Dan
kami tak pernah berhenti mensyukuri nikmat dari Tuhan ini hingga bayi itu telah
berusia dua tahun, dan aku pun menyapihnya.
Ia tumbuh dengan baik, dan tak ada anak laki-laki lain yang dapat
menyaingi pertumbuhannya. Setelah mencapai usia dua tahun, ia tumbuh menjadi
anak yang cakap, dan kami membawa kembali ke ibunya, meskipun kami sangat
mengharapkan dia tetap tinggal untuk mendatangkan berkah bagi keluarga kami.
Maka, aku pun memohon kepada ibunya, “Biarkan ia tinggal bersama kami hingga ia
tumbuh lebih kuat, karena aku khawatir ia diserang penyakit di Mekah.” Kami
meminta kepada Aminah dengan sangat agar kami diberi kesempatan sekali lagi
untuk memelihara dan mengasuh anak itu. Kami pun membawanya kembali pulang.
Suatu hari, beberapa bulan setelah kembali, ketika ia dan saudara
laki-laki angkatnya sedang bermain dengan beberapa anak biri-biri di belakang
kemah kami, saudara angkatnya itu lari mendekati kami dan berteriak, “Saudara
Quraisy-ku! Dua laki-laki bergamis putih mengambilnya, membaringkannya, dan
membelah dadanya. Lalu tangan mereka mengeluarkan isi dadanya.” Karena itu aku
menemui anak itu dan melihatnya berdiri, tapi wajahnya pucat pasi. Kami
memeluknya dan bertanya, “Apa yang telah terjadi padamu, anakku?” ia menjawab,
“Dua orang berbaju putih mendatangiku, membaringkan aku dan membelah dadaku
untuk mencari sesuatu yang aku sendiri tidak tahu.”
Halimah dan Harits berkeliling melihat sekitarnya, namun tak menjumpai
dua laki-laki itu. Mereka juga tak melihat darah atau luka pada tubuh anak
angkat mereka. Juga tak ada sedikitpun goresan pada dada anak angkat mereka itu
atau cacat pada tubuhnya yang sehat. Hanya ada gambaran tak biasa diantara
kedua punggungnya; satu tanda berbentuk oval, kecil tapi jelas, namun tanda itu
sudah ada sejak lahir.
Setelah beberapa tahun, Muhammad lebih mampu menceritakan kejadian itu
dengan lebih jelas dan lengkap:
Ada dua laki-laki datang kepadaku, berbaju putih, dengan sebuah baskom
emas yang penuh dengan salju. Setelah itu, mereka membaringkan tubuhku dan
membelah dadaku, kemudian mengambil jantungku. Tampaknya, mereka membukanya dan
mengambil segumpal darah hitam dari jantungku serta membuangnya. Lantas mereka
mencuci jantungku dan isi dadaku dengan salju itu.
Ia juga berkata: “Setan menyentuh setiap anak Adam pada saat ibunya
melahirkannya, kecuali Maryam dan putranya.”
Sumber : MUHAMMAD,
Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik / Karya: Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar