Rabu, 16 Desember 2015

Muhammad Kecil Yang Diasuh Di Padang Pasir

dari : gitanews.com
  Sudah menjadi kebiasaan seluruh keluarga besar Arab kota untuk mengirimkan anak-anak mereka yang baru lahir ke daerah gurun untuk disusui hingga disapih, serta menghabiskan masa kanak-kanak mereka di tengah-tengah suku Badui. Tak terkecuali Mekah, apalagi sejak musim wabah penyakit dan tingginya angka kematian bayi di sana. Tapi bukan semata-mata udara segar sahara yang mendorong mereka mengirim anak-anak mereka ke sana. Itu memang berguna bagi jasmani mereka. Tapi gurun pasir juga memiliki manfaat bagi perkembangan jiwa.
  Beberapa suku memiliki reputasi baik dalam menyusui dan mengasuh anak, diantaranya adalah Bani Sa’d ibn Bakr, suku Hawazin terpencil, sebelah tenggara Mekah. Aminah ingin mempercayakan putranya untuk diasuh seorang wanita dari suku tersebut. Mereka biasanya datang secara periodik kepada kaum Quraisy untuk menawarkan pengasuhan.
  Perjalanan mereka kali ini diceritakan oleh Halimah, putri Abu Dhu’ayb, yang berangkat bersama suaminya, Harits.
Tahun ini musim kemarau. Kami tak memiliki apa-apa. Aku berangkat dengan mengendarai keledai betinaku yang kurus berwarna abu-abu. Kami juga membawa seekor unta betina tua yang tak lagi bisa mengeluarkan susu setetes pun. Kami terbangun setiap malam oleh tangis kelaparan anak kami, karena susuku tak cukup membuatnya kenyang. Keledaiku begitu lemah dan kurus sehingga aku sering ketinggalan rombongan di perjalanan.
   Ia juga menceritakan bahwa mereka begitu mengharapkan curahan air hujan agar unta-unta dan keledai dapat merumput sehingga air susunya dapat keluar. Namun hingga sampai ke Mekah, tak setetes pun air hujan turun. Setelah tiba mereka segera menawarkan jasa pengasuhan anak, dan Aminah pun menawarkan anaknya untuk diasuh mereka. Namun tak satupun menerima tawarannya. Halimah menjelaskan, “Itu karena kami berharap mendapatkan sesuatu yang berharga dari ayah anak itu. Seorang anak yatim! Apa yang bisa diharapkan dari ibu dan kakeknya untuk kami?”
  Mereka tidak mengharapkan pembayaran tunai dari jasa yang ditawarkan, karena seorang wanita dianggap tidak terhormat bila mengambil bayaran dari susu yang diberikannya kepada seorang anak. Keuntungan yang diinginkan orang-orang Badui adalah memiliki ikatan dengan salah satu dari keluarga-keluarga besar ini. Seorang ibu angkat mengasuh seorang anak yang diharapkan menganggapnya sebagai ibu kedua dan merasa berkewajiban memeliharanya di akhir hayatnya. Anak itu juga akan menganggap dirinya sebagai saudara dari anak-anak kandungnya sendiri. Orang-orang Arab menganggap air susu dapat membuat suatu hubungan nasab dan dapat juga menurunkan sifat-sifat sang ibu pada anak yang disusuinya.
  Meskipun para orang tua angkat tidak mengharapkan untuk kaya, tapi mereka juga tidak mau terlalu dililit kemiskinan. Dan, telah jelas bahwa Halimah dan suaminya adalah pasangan yang paling miskin diantara pasangan lain. Sehingga tak lama kemudian semua wanita bani Sa’d telah memiliki anak asuh, kecuali Halimah sendiri. Tinggal seorang pengasuh termiskin yang tak mendapatkan titipan anak, dan hanya seorang anak termiskin yang tak mendapatkan pengasuh.
  Halimah menuturkan:
Saat kami memutuskan untuk meninggalkan Mekah, aku bilang pada suamiku, “Aku enggan kembali ke rombongan teman-teman kita tanpa mendapatkan seorang bayi untuk disusui. Aku akan kembali ke anak yatim itu dan akan membawanya.” “Terserah engkaulah,” kata suamiku. “Mudah-mudahan Allah memberikan berkah-Nya kepada kita lewat anak itu!” Maka, aku pun pergi mengambilnya, tak lain karena aku tak mendapatkan asuhan lain kecuali dia. Aku membawanya kembali ke tempat kendaraan kami ditambatkan. Tak lama setelah kudekap ia di dadaku, tiba-tiba payudaraku penuh air susu untuk menyusuinya. Ia meminumnya sampai kenyang, dan saudara angkatnya pun sampai kenyang. Setelah itu, mereka tertidur nyenyak. Suamiku mendekati unta betina tua kami dan, astaga, susunya penuh! Ia pun meminumnya dan aku juga turut minum hingga begitu kekenyangan. Kami menjalani malam yang begitu menyenangkan, dan di pagi harinya suamiku berkata, “Demi Tuhan, Halimah, engkau telah mengambil makhluk yang diberkahi Tuhan!” “Begitulah harapanku,” kataku. Selanjutnya kami bersiap-siap untuk berangkat, dan aku kembali menaiki keledaiku sambil menggendong anak itu. Keledaiku berjalan dengan cepat menyalip rombongan lain. “Hebat sekali kalian! Tunggulah kami! Bukankah keledai yang kautunggangi itu sama dengan keledai yang kemarin kalian naiki saat berangkat kemari?” kata mereka. “Ya, tentu saja, “ jawabku. “ia memang keledai yang sama.” “Suatu mukjizat telah datang kepadanya,” komentar mereka.
Kami sampai di perkemahan daerah Bani Sa’d, dan aku tahu bahwa tak ada tempat lain yang lebih gersang di muka bumi ini kecuali tempat tinggal kami itu. Namun, setelah kami datang membawa bayi laki-laki itu untuk tinggal bersama kami, domba-domba kami pulang setiap petang dengan ambing penuh air susu. Kami memerasnya dan meminumnya, sementara yang lain tak dapat menghasilkan air susu sedikitpun. Hingga para tetangga kami berkata pada para penggembalanya, “Gembalakan kambing-kambing kami di dekat kambing-kambing mereka merumput.” Meskipun hal itu telah dilakukan, kambing-kambing mereka tetap pulang dalam keadaan lapar dan tak menghasilkan air susu yang cukup. Dan kami tak pernah berhenti mensyukuri nikmat dari Tuhan ini hingga bayi itu telah berusia dua tahun, dan aku pun menyapihnya.
Ia tumbuh dengan baik, dan tak ada anak laki-laki lain yang dapat menyaingi pertumbuhannya. Setelah mencapai usia dua tahun, ia tumbuh menjadi anak yang cakap, dan kami membawa kembali ke ibunya, meskipun kami sangat mengharapkan dia tetap tinggal untuk mendatangkan berkah bagi keluarga kami. Maka, aku pun memohon kepada ibunya, “Biarkan ia tinggal bersama kami hingga ia tumbuh lebih kuat, karena aku khawatir ia diserang penyakit di Mekah.” Kami meminta kepada Aminah dengan sangat agar kami diberi kesempatan sekali lagi untuk memelihara dan mengasuh anak itu. Kami pun membawanya kembali pulang.
Suatu hari, beberapa bulan setelah kembali, ketika ia dan saudara laki-laki angkatnya sedang bermain dengan beberapa anak biri-biri di belakang kemah kami, saudara angkatnya itu lari mendekati kami dan berteriak, “Saudara Quraisy-ku! Dua laki-laki bergamis putih mengambilnya, membaringkannya, dan membelah dadanya. Lalu tangan mereka mengeluarkan isi dadanya.” Karena itu aku menemui anak itu dan melihatnya berdiri, tapi wajahnya pucat pasi. Kami memeluknya dan bertanya, “Apa yang telah terjadi padamu, anakku?” ia menjawab, “Dua orang berbaju putih mendatangiku, membaringkan aku dan membelah dadaku untuk mencari sesuatu yang aku sendiri tidak tahu.”
  Halimah dan Harits berkeliling melihat sekitarnya, namun tak menjumpai dua laki-laki itu. Mereka juga tak melihat darah atau luka pada tubuh anak angkat mereka. Juga tak ada sedikitpun goresan pada dada anak angkat mereka itu atau cacat pada tubuhnya yang sehat. Hanya ada gambaran tak biasa diantara kedua punggungnya; satu tanda berbentuk oval, kecil tapi jelas, namun tanda itu sudah ada sejak lahir.
  Setelah beberapa tahun, Muhammad lebih mampu menceritakan kejadian itu dengan lebih jelas dan lengkap:
Ada dua laki-laki datang kepadaku, berbaju putih, dengan sebuah baskom emas yang penuh dengan salju. Setelah itu, mereka membaringkan tubuhku dan membelah dadaku, kemudian mengambil jantungku. Tampaknya, mereka membukanya dan mengambil segumpal darah hitam dari jantungku serta membuangnya. Lantas mereka mencuci jantungku dan isi dadaku dengan salju itu.
  Ia juga berkata: “Setan menyentuh setiap anak Adam pada saat ibunya melahirkannya, kecuali Maryam dan putranya.”

Sumber : MUHAMMAD, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik / Karya: Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar